DISKO #2 : Diskusi Online
Aksi teror kembali menyita perhatian masyarakat Indonesia. Awal tahun 2016 Jakarta dikejutkan oleh serangan bom dan baku tembak di siang hari. Masyarakat Jakarta yang sedang melakukan aktivitas kesehariannya menjadi korban, Indonesia kembali diingatkan kepada serangan teror yang pernah terjadi pada tahun 2009. Kelompok militan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS/Daesh) yang terkenal dengan aksinya yang brutal mengklaim sebagai pihak yang bertanggung jawab.
Namun, ada yang berbeda dalam aksi teror kali ini. Beberapa tahun belakangan ini, terdapat fenomena meningkatnya penggunaan media sosial oleh masyarakat Indonesia, khususnya mereka yang tinggal di daerah perkotaan. Berita teror Jakarta menyebar dengan cepat ke seluruh wilayah Indonesia melalui media sosial. Seketika ketakutan warga Jakarta menyebar ke kota-kota lain yang membuat masyarakatnya lebih waspada. Beragam jenis kabar dari Jakarta menyebar lewat media sosial, ada yang faktual namun ada juga yang bersifat spekulasi. Ketidakpastian berita dari Jakarta inilah yang menimbulkan masalah di tempat lain seperti kepanikan atau mengganggu kegiatan ekonomi.
Melalui kegiatan #DISKO (Diskusi Online), Sebangsa bekerja sama dengan TEMPO berupaya membangun diskusi seputar masalah Teror dan Media. #DISKO dilaksanakan di aplikasi sebangsa melaui fitur grup #DISKO. Tema diskusi yang di angkat pada tanggal 26 Januari 2016 adalah “Dibalik liputan serangan teroris Jakarta, 14.01.16”. Diskusi tersebut mengundang Arif Zulkifli selaku pemimpin redaksi majalah TEMPO dengan Sammy sebagai Moderator.
Diskusi berjalan dengan tujuan menjaring pikiran yang bervariasi dari audiensnya. Sammy menjelaskan di awal bahwa diskusi tidak bisa berjalan satu arah, namun berupa verifikasi dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Arif sebagai narasumber akan menjawab dan melempar isu untuk kemudian ditanggapi oleh peserta diskusi yang berasal dari berbagai macam disiplin ilmu dan latar belakang.
Arif sebagai awak media berpendapat bahwa ketidakpastian berita yang beredar melalui media sosial adalah konsekuensi dari masyarakat yang memiliki akses bebas dalam mengemukakan pendapat dan bersuara. Di satu sisi, keterbukaan informasi memang memberikan pengetahuan kepada orang yang letaknya jauh dari peristiwa kejadian. Di sisi lain, kebenaran informasi sulit dipastikan, apalagi jika berasal dari orang yang tidak bersangkutan langsung dengan isu yang dibahas.
Sementara itu, media online dan portal berita cenderung mengikuti pola yang sama dengan akun media sosial pribadi. Akun media online dan portal berita dipandang memiliki sisi bisnis yang tidak bisa ditinggalkan. Sehingga traffic dan persebaran berita kadang lebih diutamakan ketimbang verifikasi atau kebenaran berita yang disebar. Arif menekankan kepada perbedaan media konvensional dan media sosial terletak pada sistem verifikasi. Ia berpendapat bahwa koran dan berita TV harus melalui proses screening dari editor dan verifikasi berita sebelum dipublish. Sementara akun media online dan portal berita cenderung mengabaikan etika tersebut.
Di sisi lain, masyarakat juga perlu pintar dalam memilih dan mempercayai hal-hal yang beredar di media sosial dan portal berita online. Verifikasi berita dapat dilakukan masyarakat dengan membandingkan berita dari berbagai sumber, atau menunggu hingga keluar konfirmasi dari pihak yang langsung terlibat di dalamnya. Ada kasus yang menarik ketika salah seorang tokoh media sosial mendapatkan semacam sindiran dari polisi yang bertugas saat menangani situasi teror di Jakarta karena ia menyebarkan berita yang tidak valid.
Verifikasi berita menjadi sulit dilakukan ketika media mainstream seperti TV melakukan Live Report. Live Report pada kasus serangan teror kali ini membuat masyarakat bisa memantau kejadian langsung saat terjadi. Namun, karena informasi yang tersedia sangatlah minim, berita TV seringkali mengutamankan opini dan spekulasi dibandingkan fakta. Menebak-nebak apa yang akan terjadi selanjutnya juga sering dilakukan ketika terjadi Live Report, yang pernah menyebabkan kepanikan masal saat peristiwa meletusnya gunung merapi pada tahun 2010.
Media dan Aksi terorisme bisa bersifat saling mendukung, jika beberapa hal di atas terjadi. Terorisme akan menciptakan ketakutan, sedangkan media yang tidak melakukan validasi akan menyebarkannya. Masyarakat sebagai target kedua pihak tadi harus lebih pintar dalam mengkonsumsi berita-berita yang beredar baik di media mainstream maupun sosial media.
Ikuti DISKO : Diskusi Online hanya di grup +DISKO dalam aplikasi Sebangsa. Belum punya aplikasi Sebangsa? Download secara gratis di PlayStore / AppStore atau kunjungi websitenya di www.sebangsa.com