Blockchain, Supply Chain, dan Smart Contract
Teknologi blockchain diatur dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (PM Kominfo) No. 3 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Standar Produk Pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Pos, Telekomunikasi, dan Sistem dan Transaksi Elektronik (Lampiran I Angka 3 no. 2 huruf a). PM Kominfo ini merupakan aturan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah (PP) No. 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (Pasal 6 Ayat (7) juncto Pasal 149 Ayat (5) huruf a)).
Blockchain merupakan sistem penyimpanan data digital yang mencakup multiserver. Data yang dibuat satu server dapat direplikasi dan diverifikasi oleh server lain. Blockchain memanfaatkan komputasi untuk menciptakan kelompok-kelompok (block). Antar-block saling terhubung. Berisi catatan transaksi (keuangan) dan melacak asset dari jaringan bisnis.
Distributed Ledger Technology
Setiap block memuat buku besar (ledger) dan tiga elemen: data, hash (fungsi pemetaan data), dan hash dari block sebelumnya. Blockchain mencatat informasi yang tidak bisa diubah. Jenis data yang digunakan tergantung tujuan, misalnya detailing transaksi. Hash berisi data (tanda tangan/sidik jari digital) untuk mengidentifikasi block berikut isinya dalam kode unik tertentu (OJK Institute, 24/3/2022).
Proses blockchain bersifat terdesentralisasi (antar-node jaringan) untuk memastikan validitas informasi. Selanjutnya, data akan ditambahkan ke dalam block baru. Selain bersifat investasi, blockchain dapat menyimpan berbagai jenis informasi pada block yang sama. Menurut International Telecommunication Union (ITU, 2019), secara esensial, sistem distributed ledger technology (DLT) mencakup empat karakteristik kunci, yaitu: append only, immutable, shared, and distributed (Distributed ledger technology overview, concepts, ecosystem (itu.int)). Berdasarkan PM Kominfo No. 3/2021, standar usaha pengembangan teknologi blockchain mengacu pada persyaratan produk/proses/jasa sesuai Standar ISO 22739: 2020 tentang Blockchain dan Distributed Ledger Technologies (DLT).
Supply Chain 4.0
Blockchain dalam proses bisnis rantai pasok, berupa rekaman (informasi) transaksi (block) yang didistribusikan ke seluruh organisasi (perusahaan/echelon). Perubahan transaksi (urutan, informasi, duplikasi) tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan para pihak. Sehingga tidak ada single ownership dan tidak ada perantara (intermediasi, bank).
Hal tersebut menunjukkan, para pihak memiliki kedudukan setara sehingga dapat memantau seluruh transaksi secara langsung. Interkoneksitas transaksi proses bisnis ini membantu auditing karena berbasis trust. Sekaligus mencegah fraud dan mereduksi proses komunikasi yang tidak perlu. Pada sistem Supply Chain 4.0, blockchain merekam transaksi dalam block. Antara lain: identitas, produk, harga, lokasi, cara pengiriman, penerima, supplier, dan perizinan. Hal ini bermanfaat untuk:
- meningkatkan transparansi data/informasi antar-perusahaan yang berkolaborasi;
- penguatan ketahanan terhadap fluktuasi permintaan/pasokan (antisipasi strategi yang menguntungkan para pihak);
- monitoring dan penguatan kinerja supplier, outsource, vertical/horizontal integration ;
- mengurangi bullwhip effect (efek cambuk: pergerakan permintaan terkait aktivitas-aktivitas retailer, distributor, produsen, dan supplier bahan baku);
- traceback terkait keamanan dan kesehatan produk bagi konsumen serta deteksi (lokasi pengiriman produk, proses produksi, dan pengemasan);
- mendukung analisis data (real time, big data) terkait elastisitas harga produk yang dibeli konsumen.
Para pihak yang bertransaksi memantau status informasi/data dan pergerakan barang melalui platform yang didukung algoritma blockchain (valid, mencegah manipulasi/fraud). Peran blockchain dalam proses supply chain perdagangan dunia, menurut World Trade Organization (WTO, 2017), mampu meningkatkan: efisiensi, gross domestic product (GDP) dunia 5%, dan volume perdagangan dunia 15%.
Blockchain-Smart Contract
Pengembangan teknologi blockchain mencakup implementasi smart contract, perancangan infrastruktur blockchain public dan private serta tidak mencakup perdagangan berjangka komoditas aset kripto. Smart contract merupakan perjanjian dua pihak dalam bentuk kode computer yang berjalan di jaringan blockchain yang disimpan dalam jaringan publik dan tidak dapat diubah.
Menurut Matthew N. O. Sadiku et al (2018), smart contract is a set of promises, specified in digital form, with a program enforcing the contract built into the code. Smart contracts run on blockchain technology, which is basically a distributed database that records all transactions that ever occurred in the network. A smart contract is an executable code that is executed on the blockchain to enforce an agreement between two or more parties.”
Selanjutnya, Gates dalam Eureka Inola Kadly dkk (2021), mengemukakan, smart contract merupakan perjanjian elektronik yang dituliskan dalam kode komputer dan dioperasikan dalam suatu blockchain atau distributed ledger. Sehingga dapat menjalankan dan menegakkan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian tersebut secara otomatis (self excecuting and self-enforcing).
Validitas Kontrak Elektronik
Keabsahan blockchain-smart contract dalam e-commerce didasarkan pada regulasi internasional dan nasional. Regulasi internasional merujuk pada United Nations in Contracts for International Sale of Goods (CISG), United Nation Commission on International Trade Law (UNCITRAL) Model Law on Electronic Commerce, dan UNCITRAL Model Law on Electronic Signatures.
Regulasi nasional sebagai dasar legalitas blockchain-smart contract merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Undang-Undang (UU) No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik (ITE), Peraturan Pemerintah (PP) No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (PSTE), dan PP No. 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
Blockchain-smart contract merupakan kontrak elektronik, karena dapat dibuat dari hasil interaksi dengan perangkat transaksi otomatis. Para pihak tidak dapat menyangkal validitas kontrak elektronik, kecuali dapat dibuktikan sistem otomatis tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Validitas blockchain-smart contract wajib memenuhi empat syarat kontrak sesuai KUH Perdata Pasal 1320:
- sepakat (Teori Penerimaan/Ontvangstheorie, UU ITE Pasal 20);
- cakap (subjek hukum, memiliki kewenangan/otoritas);
- hal tertentu (jelas, terang);
- sebab halal (lawful: tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan, dan ketertiban umum).
Keempat syarat tersebut dilandasi asas kebebasan berkontrak (party autonomy), sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Pasal 1338, yang bersifat mengikat. Sehingga tidak dapat dibatalkan tanpa kesepakatan dan/atau berdasarkan undang-undang serta itikad baik.
Agen Elektronik
Eureka Inola Kadly dkk. (2021) berpendapat, blockchain-smart contract dapat dikategorikan sebagai agen elektronik (AE). AE merupakan perangkat sistem elektronik untuk melakukan tindakan terhadap informasi elektronik tertentu secara otomatis yang diselenggarakan oleh perseorangan (WNI, WNA) dan badan hukum.
Berdasarkan PP PSTE Pasal 37, penyelenggara agen elektronik (PAE) wajib memuat informasi mengenai:
- identitas PAE
- objek transaksi
- kelayakan/keamanan AE
- tata cara penggunaan perangkat
- syarat kontrak
- prosedur mencapai kesepakatan
- jaminan privasi dan/atau pelindungan data pribadi
- nomor telepon pusat pengaduan.
Selain itu, PAE wajib menyediakan fitur untuk: a) melakukan koreksi; b) membatalkan perintah; c) memberikan konfirmasi/rekonfirmasi; d) memilih meneruskan/berhenti melaksanakan aktivitas berikutnya; e) melihat informasi tawaran kontrak elektronik/iklan; f) mengecek status berhasil/gagalnya transaksi; dan/atau g) membaca perjanjian sebelum melakukan transaksi.
Amerika dan Singapura
Amerika mengategorikan blockchain-smart contract sebagai agen elektronik yang bersifat otomatis, tanpa campur tangan manusia (Uniform Electronic Transaction Act/UETA Section 2 dan 14 (1)). Penggunaan informasi dan dokumen elektronik dibatasi, antara lain terkait sale of goods (diatur dalam UCC/Uniform Commercial Code). Sifat automated message system pada smart contract, juga diberlakukan Singapura dalam Electronic Transaction Act (ETA). Sifat ini mencakup kenirsangkalan, akibat hukum, dan validitas (ETA Article 3 (b)) berdasarkan asas kebebasan berkontrak (ETA Article 5). Namun demikian, ETA juga memuat kewajiban informasi tertulis dengan konsekuensi hukum yang mengikat.
Indonesia, Amerika, dan Singapura, menerapkan prinsip netral teknologi sebagai implementasi UNCITRAL Model Law on e-Commerce. Netral teknologi merupakan asas pemanfaatan teknologi (informasi, transaksi elektronik) sesuai perkembangan (inovasi) di masa mendatang (UU ITE Pasal 3 dan Penjelasan). Juga, dalam kerangka harmonisasi regulasi. Hal ini, menurut Hannu Honka, dalam Samuel M.P. Hutabarat (2020), dilakukan melalui penyeragaman prinsip-prinsip hukum yang mendekati kesamaan (similar or almost similar rules) agar tidak terjadi hasil yang berbeda.
Source : supplychainindonesia.com