Rantai Pasok ASEAN Pikat Investasi Asing
JAKARTA, KOMPAS — Asia Tenggara menjadi magnet investor asing. Meski pasar domestiknya besar, mereka lebih memandang kawasan ini dari segi konektivitas rantai pasoknya.
Riset HSBC Global Connection mengungkapkan perusahaan internasional memandang kawasan Asia Tenggara, khususnya ASEAN, dari segi konektivitas rantai pasoknya dibandingkan pasar konsumen. Sebagai kawasan dengan pertumbuhan ekonomi tercepat, ASEAN memberi peluang perdagangan yang menjanjikan.
Peneliti makroekonomi dan pasar keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Teuku Riefky, mengatakan, faktor konsumen hanya didominasi Indonesia. Sebab, dari struktur ekonomi ASEAN, populasi Indonesia menjadi yang terbesar. Selisihnya jauh dibandingkan negara lain di ASEAN dengan populasi lebih dari 200 juta orang.
“Kalau bicara rantai pasok, konektivitas (itu) yang berpotensi dibangun. Di ASEAN, ada beberapa negara yang memang jadi hak utama atau produsen utama di level global,” ujar Riefky saat dihubungi di Jakarta, Selasa (26/9/2023).
Dari sisi produksi, Vietnam, Thailand, Indonesia, dan Malaysia unggul pada beberapa produk. Sektor perdagangan diperkuat Malaysia, Indonesia, dan Singapura. Kolaborasi ini lebih setara dari sisi rantai pasok dan perdagangan dibandingkan sisi konsumennya.
Sebelumnya, Head of Commercial Banking, South, and Southeast Asia HSBC Amanda Murphy mengemukakan, ASEAN merupakan pasar ekspor terbesar. Konektivitas dinilainya amat penting. Dalam risetnya, perusahaan-perusahaan asing tak begitu mengkhawatirkan soal rantai pasok.
”Bisnis dari Hong Kong, China, India, dan Australia lebih melihat peluang (investasi) ada di region ini untuk mengembangkan rantai pasok dan tumbuh organik,” kata Murphy.
Negara-negara Eropa lain, yakni Inggris, Perancis, dan Jerman, juga membidik peluang yang sama. Meski demikian, pergerakannya tak secepat negara-negara di sekitar kawasan Asia Tenggara.
Dalam riset HSBC, hampir seperempat dari total perusahaan di Amerika Utara, Eropa, dan Asia berekspektasi untuk mengekspansi usahanya ke kawasan ASEAN. Harapannya, bisnisnya dapat bertumbuh organik hingga 23 persen pada 2023, lebih tinggi dibandingkan tahun lalu yang sebesar 20 persen.
Hampir seperempat perusahaan yang disurvei mengaku akan meningkatkan merger dan akuisisinya pada tahun ini. Negara utama masih tertuju pada Singapura, Malaysia, dan Thailand. Namun, pasar yang baru mengarah pada Indonesia dan Filipina.
HSBC Commercial Banking menjaring 3.509 perusahaan yang berbasis di pasar China, India, Inggris, Perancis, Jerman, Amerika Serikat, Australia, Hong Kong, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Bahrain, Qatar, Oman, dan Kuwait. Responden merupakan pemegang keputusan dari perusahaan-perusahaan beromzet tahunan minimal 5 juta dollar AS. Mereka telah melakukan bisnis di Asia Tenggara atau mempertimbangkan untuk melakukannya. Survei berlangsung 25 Juli-2 Agustus 2023.
Deputi Bidang Kerja Sama Penanaman Modal Kementerian Investasi Riyatno mengatakan, investasi asing secara langsung (foreing direct investment/FDI) terus bergeliat di ASEAN. Jumlahnya mencapai 224 miliar dollar AS, naik 5 persen secara tahunan pada 2022.
Sektor yang banyak digarap adalah manufaktur, keuangan, perdagangan eceran, transportasi, serta informasi dan komunikasi. Seluruh sektor tersebut berkontribusi terhadap 86 persen dari total investasi langsung ke ASEAN pada 2022.
”Meningkatnya FDI di ASEAN ini menunjukkan sentimen positif investor terhadap kawasan ini. Sebab, kawasan ini sudah membuktikan pemulihan ekonomi yang kuat dan bertumbuh stabil,” kata Riyatno (Kompas.id, 16/8/2023).
Terpengaruh isu global
Kawasan Asia Tenggara menjadi incaran banyak perusahaan internasional. Namun, soal ketenagakerjaan, inflasi, dan volatilitas mata uang, masih menjadi catatan.
Menurut Riefky, kemampuan tenaga kerja di ASEAN relatif berbeda. Keahlian pekerja Singapura dan Vietnam berbeda dengan Indonesia, Thailand, dan Malaysia. Hal ini perlu dicari jalan keluarnya agar para pekerja antarnegara ASEAN bisa bekerja produktif.
Sementara itu, isu inflasi dan volatilitas mata uang tak hanya menjadi persoalan bagi ASEAN, tetapi juga global. Namun, untuk Indonesia sendiri, inflasi bukan lagi jadi isu utama seperti yang dihadapi negara-negara lain.
”Inflasi di Indonesia sudah kembali ke target 2-4 persen. Jadi relatif manageable. Inflasi di negara lain masih jadi isu yang berpengaruh pada daya beli dan kapasitas produksi,” kata Riefky.
Bank Indonesia mencatat, inflasi Agustus 2023 meningkat pada level 3,27 persen dari Juli 2023 yang sebesar 3,08 persen. Tingkat inflasi itu masih dalam rentang target pemerintah dan BI.
Nilai tukar yang berubah-ubah dipengaruhi kebijakan negara maju, seperti AS dan Uni Eropa. Negara-negara ASEAN terpengaruh karena ketergantungannya yang tinggi terhadap mata uang dollar AS. Riefky memprediksi, volatilitas mata uang masih akan tinggi pada cakupan global.
Upaya negara-negara untuk membentuk local currency settlement atau penyelesaian transaksi bilateral yang dilakukan dalam mata uang setiap negara tetap tak bisa menghilangkan paparan terhadap dollar AS. Dalam level ASEAN, usaha itu bisa mengurangi, tetapi penggunaannya masih terdampak mata uang lain.
Source : kompas.id