Melihat Potensi Besar Energi Terbarukan Indonesia
Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi Paris Agreement (Perjanjian Paris) pada 2015 silam. Perjanjian tersebut merupakan kesepakatan global yang monumental untuk menghadapi perubahan iklim.
Adapun target dari Perjanjian Paris adalah penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sesuai dengan Nationally Determined Contributions (NDC) pada 2030 sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional. Tak hanya itu, Indonesia bahkan memiliki komitmen untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060.
Untuk mendukung pencapaian tersebut, Indonesia berkomitmen untuk mengatasi isu terkait akses energi, smart and clean technology, dan pembiayaan di sektor energi. Maka, dilakukan upaya transisi energi dari yang menghasilkan emisi GRK ke energi yang bersih dan terbarukan.
“Kalau kita lihat energi yang menghasilkan emisi adalah energi yang berbasis fosil. Jadi kita harus cari energi lain, nonfosil yang terbarukan,” kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif pada webinar bertajuk “Katadata Future Energy: Tech and Innovation 2021” pada Senin (8/3/2021).
Kemudian, pemerintah juga telah menetapkan target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada tahun 2025. Hal ini tertuang dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Indonesia sendiri memiliki potensi EBT yang besar. Menurut data Kementerian ESDM, total potensi energi terbarukan Indonesia mencapai 417,8 giga watt (GW) dan potensi terbesar berasal dari surya atau matahari sebesar 207,8 GW.
Potensi energi terbarukan lainnya berasal dari arus laut atau samudera (17,9 GW), panas bumi (23,9 GW), bioenergi (32,6 GW), bayu (60,6 GW), dan hidro (75 GW). Namun, realisasi bauran EBT baru mencapai 13,55 persen per April 2021.
Capaian tersebut tercatat meningkat 2,04 persen dari data sebelumnya pada akhir 2020 yang hanya mencapai 11,51 persen. Meskipun demikian, angka tersebut masih jauh dari target 23 persen yang harus tercapai pada 2025.
Dari 13,55 persen bauran EBT tersebut, pembangkit listrik tenaga air mempunyai porsi terbesar, yaitu 6.144 mega watt (MW). Kemudian, panas bumi menyumbang 2.131 MW dan energi bersih lainnya sebanyak 2.215 MW.
“Pembangkit listrik yang datang dari energi baru dan terbarukan yaitu panas bumi 5,6 persen; air 7,9 persen, dan EBT lainnya 0,33 persen,” kata Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Rida Mulyana pada Jumat (4/06/2021) seperti yang dikutip dari Antara.
Upaya percepatan bauran EBT
Sebagai upaya untuk mendorong percepatan bauran EBT, salah satu strategi pemerintah adalah menempatkan matahari sebagai tulang punggung penghasil listrik ramah lingkungan. Adapun tiga program yang akan menjadi tumpuan pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) adalah sebagai berikut.
1. PLTS atap
Kementerian ESDM menargetkan pengembangan PLTS Atap akan mencapai 3,6 GW pada 2030 mendatang.
Pada Agustus lalu, Kementerian ESDM mencatat pengguna yang memasang PLTS atap meningkat lebih dari 1.000 persen dalam tiga tahun terakhir, dari 350 pelanggan pada 2018 menjadi 4.000 pelanggan.
Pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 26 Tahun 2021 Tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap yang Terhubung Pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum sebagai revisi dari Permen ESDM Nomor 49 Tahun 2018.
Dalam regulasi yang baru itu, terdapat perluasan pemanfaatan PLTS agar tidak hanya bagi pelanggan Perusahaan Listrik Negara (PLN), tetapi juga pelanggan non-PLN. Kemudian, pemerintah akan mempersingkat waktu permohonan izin pemasangan karena pengajuannya berbasis aplikasi dan akan diberikan insentif tambahan bagi masyarakat yang memasang PLTS di rumah.
2. Pengembangan PLTS skala besar di area bekas tambang dan lahan non-produktif
Dalam pengembangan PLTS skala besar, pemerintah telah menetapkan target sebesar 5,34 GW pada 2030. Pemerintah juga menginisiasi Pulau Sumba yang berada di Nusa Tenggara Timur sebagai lumbung energi surya.
Hal tersebut disebabkan oleh rata-rata potensi pembangkitan Pulau Sumba mencapai 1.800 MW per tahun atau 25 persen di atas rata-rata nasional. Lalu, intensitas radiasi matahari rata-rata di wilayah tersebut tercatat sebesar 4,8 kWh per hari dengan ketersediaan luas lahan yang dapat memungkinkan pembangunan PLTS hingga 50.000 MW.
Nantinya, PLTS skala besar tersebut akan ditransmisikan dari Pulau Sumba ke Pulau Jawa untuk mendorong perkembangan pembangkit EBT di Indonesia.
3. PLTS terapung
Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan, Chrisnawan Anditya, mengungkapkan bahwa potensi PLTS Terapung tergolong melimpah. Dari pemetaan yang ada, potensinya dapat mencapai 27 GW.
Namun, tidak seluruhnya dapat dikembangkan. Seperti yang kita tahu, PLTS akan tergantung dengan cuaca atau yang disebut dengan intermitensi. Untuk mengatasi isu intermitensi pada PLTS Terapung, pengembangannya harus dilakukan pada waduk yang memiliki Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA).
Saat ini, Indonesia tengah membangun PLTS terapung berkapasitas 145 MW di Waduk Cirata, Jawa Barat yang ditargetkan dapat beroperasi pada November 2022.
“PLTS Terapung ini dari hari ke hari menunjukkan tingkat competitiveness yang semakin tinggi. Tentu saja kita harapkan jenis-jenis PLTS Terapung ini akan terus berkembang dan kemudian kita juga bisa memanfaatkan seluruh waduk-waduk, baik yang memiliki PLTA maupun yang tidak. Kita punya potensi sampai 12 GW di 28 PLTA eksisting dan di waduk atau danau dengan potensi 28 GW di 375 lokasi,” kata Menteri ESDM Arifin Tasrif pada peluncuran HSBC Energy Transition Project di Indonesia, Selasa (10/8,2021).
Panel surya bagi pelaku industri
Pelaku industri dan bisnis didorong untuk memanfaatkan EBT untuk mempercepat pertumbuhan green economy atau ekonomi hijau di Indonesia.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan bahwa pemanfaatan EBT akan menghasilkan green product (produk hijau) yang lebih diminati.
“Dampak dari pemanfaatan EBT berkontribusi pada pembangunan yang berkelanjutan atau sustainable development goals (SDGs). Selain dapat mengurangi emisi karbon, penggunaan energi bersih juga membuka kesempatan lapangan kerja baru dan mengatasi pengangguran, sehingga mengakselerasi pertumbuhan ekonomi hijau,” kata Fabby dalam keterangan resmi, Kamis (7/10/2021) seperti yang dikutip dari Bisnis.com.
Menurut Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA), sektor energi terbarukan tahun lalu menciptakan 11,5 juta pekerjaan secara global. Dari angka tersebut, 3,8 juta pekerjaan berasal dari energi surya. Kemudian, sebesar 63 persen pekerjaan baru tersebut berada di Asia yang menjadi pemimpin pasar energi terbarukan.
Bahkan, sebuah perusahaan pengembang tenaga surya, PT SUN Energy, memproyeksikan penjualan panel surya bisa tumbuh 4 kali lipat di 2021. Hal tersebut disebabkan oleh pesatnya permintaan PLTS Atap dari berbagai sektor industri, khususnya dari pabrik.
Chief Commercial Officer (CCO) SUN Energy Dionpius Jefferson mengatakan permintaan panel surya semakin meningkat. “Di tahun ini penjualan akan meningkat 4 kali lipat dibandingkan tahun lalu,” katanya pada Minggu (3/10/2021) seperti yang dilansir dari Kontan.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berperan sebagai pengelola energi nasional, PT Pertamina (Persero), telah berkomitmen untuk terus mendorong tumbuhnya EBT. Kini, Pertamina membidik peningkatan portofolio di bidang energi hijau sekitar 17 persen pada 2030.
Corporate Secretary PT Pertamina Power Indonesia Dicky Septriadi mengatakan bahwa perusahaan sudah terlibat langsung dalam pengembangan energi hijau seperti pemanfaatan geothermal, PLTS, biogas, EV ekosistem, hingga energi masa depan.
Untuk PLTS, Pertamina berupaya untuk meningkatkan kapasitas pemasangan PLTS. Pertamina menargetkan pemasangan 500 MW PLTS di lokasi potensial milik perusahaan. Beberapa titik yang menjadi sasaran adalah stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) dan gedung perkantoran.
Komponen panel surya buatan dalam negeri
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berupaya mendorong pengembangan industri panel surya nasional melalui roadmap yang telah disusun hingga tahun 2025.
Roadmap ini telah dimulai dari tahap pertama, yaitu tahun 2016-2018 dengan pemenuhan target Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) sebesar 40 persen yang meliputi untuk pembuatan wafer, solar cell, dan solar module.
Sebagai informasi, wafer, solar cell, dan solar module merupakan bahan-bahan pembuat panel surya.
“Pada periode tahun 2019-2020, ditargetkan nilai TKDN meningkat menjadi 76 persen yang didukung dengan adanya ingot factory. Kemudian periode tahun 2020-2022, diharapkan mencapai target TKDN sebesar 85 persen dengan adanya solar grade silicon factory. Tahap terakhir pada periode tahun 2023 2025, pencapaian nilai TKDN minimal sebesar 90 persen dengan adanya metallurgical grade silicon factory,” kata Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri (BSKJI) Kemenperin Doddy Rahadi pada Selasa (14/9/2021) seperti yang dikutip dari Tribun.
Doddy juga menambahkan bahwa energi surya di Indonesia saat ini memiliki potensi sebesar 532,6 GWp per tahun. Namun, hingga saat ini, kapasitas produksi nasional yang terpasang sebesar 515 MWp dan total kapasitas PLTS di Indonesia sebesar 25 MWp.
“Hal ini menunjukkan serapan pasar masih sangat kecil dari kapasitas produksi nasional, diharapkan serapan tersebut dapat terus meningkat guna mendukung bauran EBT nasional,” katanya, melansir dari Kontan.
Berdasarkan data dari Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia (APAMSI), terdapat 10 industri panel surya di Indonesia dengan total 515 mega watt peak (MWp). Adapun salah satu industri dengan kapasitas produksi tertinggi adalah PT Len Industri dengan kapasitas 71 MWp.
Mengutip dari Kontan, Kemenperin mencatat importasi produk sel surya sejak 2018-2020 mengalami penurunan yang signifikan. Pada 2020, nilai impor sel surya 3,5 juta dolar AS, turun 76 persen dibanding 2018. Untuk modul surya, nilai impornya mencapai 14,8 juta dolar AS, turun 56 persen dari 2018.
Menurut Ketua Pengguna Listrik Surya Atap (PPLSA) Yohanes Bambang Sumaryo, turunnya importasi ini disebabkan oleh adanya substitusi impor di dalam negeri. “Kondisi seperti ini membuat pelaku usaha tidak impor lagi karena sudah ada di dalam negeri. Hal ini juga akan berefek pada melonjaknya pemasangan PLTS ke depannya,” jelasnya.
Dukungan berbagai regulasi dan kebijakan
Pemerintah sedang mempersiapkan Rancangan Undang-undang tentang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT) yang ditargetkan akan rampung pada Oktober 2021. Selanjutnya, terdapat Peraturan Presiden tentang tarif EBT.
“Peraturan Presiden ini akan atraktif untuk investor karena dalam regulasi ini kita sudah menyediakan kompensasi jika harga jual listrik lebih tinggi dari generation cost PLN,” kata Chrisnawan.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati juga mendukung transisi energi terbarukan yang ramah lingkungan. Hal tersebut ia sampaikan pada acara “Asia House Conference – The Role of Green Finance in Delivering Southeast Asia’s Sustainability Goals” pada Kamis (30/9/2021) lalu.
“Dalam kebijakan fiskal, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan dari sisi penerimaan seperti insentif pajak untuk sektor energi terbarukan. Dari sisi belanja, telah diberikan subsidi untuk sektor energi dan transportasi yang lebih ramah lingkungan,” kata Sri Mulyani.
Kebijakan ketiga adalah pembiayaan. Pemerintah menerbitkan green bonds (Instrumen efek yang bersifat utang berwawasan lingkungan) secara global yang dikombinasikan dengan basis syariah.
Namun, Indonesia membutuhkan dana yang besar setiap tahunnya untuk membiayai transisi EBT yang ramah lingkungan. Maka, pemerintah tengah menyusun road map transisi energi terbarukan yang ramah lingkungan untuk mengajak pihak swasta turut serta dan berkontribusi.
Adapun contoh road map-nya adalah penyusunan kerangka kebijakan untuk pasar karbon, penentuan harga karbon, mekanisme perdagangan karbon, serta kebijakan pajak karbon.
Menuju era kendaraan listrik
Era energi alternatif diyakini semakin dekat seiring berkembangnya isu lingkungan dan tren dunia. Salah satunya pengembangan kendaraan listrik berbasis baterai atau electrified vehicle (EV).
Bahkan, kini beberapa pabrikan otomotif raksasa mulai melakukan pergerakkan agar bisa menjadi pemain pertama dan utama dalam isu tersebut melalui studi komperhensif hingga pembuatan pabrik.
Tak ingin ketinggalan, pemerintah juga mulai menyiapkan banyak regulasi untuk menyambut era kendaraan listrik dalam negeri. Regulasi tersebut dimulai dari Peraturan Presiden hingga turunannya yang setingkat kementerian.
Menurut Menperin Agus Gumiwang Kartasasmita, industri alat transportasi telah menjadi prioritas dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) 2015-2035. Pemerintah juga akan menciptakan ekosistem kendaraan listrik dengan melibatkan para pemangku kepentingan seperti produsen, industri baterai, pilot project, konsumen, dan infrastruktur seperti charging station.
Dalam roadmap tersebut, produksi mobil listrik ditargetkan mencapai 600 ribu unit dan sepeda motor listrik 2,45 juta unit pada 2030. Diperkirakan pembelian kendaraan listrik bagi roda empat akan mencapai 132.983 unit. Lalu, kendaraan listrik roda dua akan mencapai 398.530 unit.
“Dengan diproduksinya kendaraan listrik, diharapkan mampu menurunkan emisi CO2 sebesar 2,7 juta ton untuk roda empat atau lebih. Kemudian sebesar 1,1 juta ton untuk roda dua,” ujar Menperin.
Namun, bedasarkan pantauan Dewan Energi Nasional (DEN) ada beberapa kendala dan tantangan dalam mewujudkan industri baterai kendaraan listrik di Indonesia. Tantangan pertama adalah investasi yang cukup besar dan waktu yang cukup pendek.
Kendala kedua adalah masalah harga dari teknologi anyar untuk bisa terserap secara maksimal di masyarakat. Menurutnya, biaya dari infrastruktur mobil listrik yang masih belum seluruhnya terjangkau oleh masyarakat untuk digunakan.
Contohnya adalah alat charger untuk mobil listrik di rumah masing-masing membutuhkan daya 5-7 ribu Watt.
Tantangan berikutnya adalah infrastruktur pendukung daripada komponen industri mobil listrik yang masih memerlukan insentif dari Kementerian Keuangan.
“Mereka (masyarakat) juga banyak bertanya tentang harga dan sebagainya ini tantangan tersendiri bagaimana sosialisasi ke masyarakat bahwa kendaraan listrik lebih ekonomis dan efisien,” ujar Sekjen DEN Djoko Siswanto dikutip dari CNBC.
Meskipun demikian, Indonesia masih memiliki keunggulan untuk bisa menjadi pemain utama di kendaraan listrik. Hal ini karena adanya ketersediaan bahan baku baterai berupa nikel dan kobalt yang cukup melimpah di Indonesia.
“Permintaan EV di dunia diperkirakan terus meningkat dan akan mencapai sekitar 55 juta unit pada tahun 2040. Pertumbuhan ini tentunya mendorong peningkatan kebutuhan baterai lithium ion (LiB),” kata Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika (ILMATE) Kemenperin, Taufiek Bawazier.
Ke depannya, lanjut Taufiek, kebutuhan baterai lithium ion akan terus meningkat seiring dengan berkembangnya isu lingkungan dan tren dunia.
“Hal ini menjadi potensi pengembangan industri baterai yang merupakan komponen utama dalam ekosistem energi terbarukan. Energi yang dikonversi dari sumber terbarukan akan disimpan dalam baterai dan akan digunakan baik secara langsung atau melalui jaringan listrik,” ucap Taufiek, menjelaskan.
Kemenperin sendiri menyebut Indonesia memiliki sembilan perusahaan yang mendukung industri baterai yang juga akan mendukung kendaraan listrik. Kesembilan perusahaan itu terdiri dari lima perusahaan penyedia bahan baku baterai yang terdiri dari nikel murni, kobalt murni, ferro nikel, endapan hidroksida campuran, dan lain-lain; serta empat perusahaan produsen baterai.
Source : goodnewsfromindonesia.id