Memanfaatkan Teknologi Blockchain dalam Perdagangan Karbon Indonesia
Jakarta: PT Kliring Berjangka Indonesia (Persero) atau KBI memanfaatkan teknologi blockchain pada ekosistem perdagangan karbon di Indonesia. Hal itu dapat memberikan jaminan keamanan atas pencatatan kredit karbon dan akan memastikan tidak terjadinya double accounting dalam proses pencatatannya.
Direktur Utama KBI Fajar Wibhiyadi mengatakan, KBI sebelumnya telah memanfaatkan teknologi blockchain dalam aplikasi pusat registrasi resi gudang. Manfaatnya pun sudah dirasakan oleh para stakeholder di dalam ekosistem resi gudang.
“Sebagai Badan Usaha Milik Negara, tentunya kami bisa memastikan bahwa proses kegiatan kliring yang berjalan telah sesuai dengan regulasi yang ada. Selain itu, dalam hal pengembangan teknologi, ke depan kami juga akan terus menyempurnakan dan mengembangkan teknologi yang diperlukan untuk kegiatan kliring tersebut,” katanya, Kamis, 12 Agustus 2021.
Head Ecoframework Dept PT Sucofindo Budi Utomo menambahkan, keberadaan lembaga kliring dalam perdagangan karbon sangat penting dalam mendukung skema transaksi perdagangan karbon. Lembaga kliring yang memiliki teknologi yang berbasis blockchain, akan mampu memberikan keamanan bertransaksi serta menjamin integritas agregasi emisi selama transaksi kredit berlangsung oleh pelaku.
“Selain itu, lembaga kliring yang mengadopsi teknologi ini akan mampu mendukung konsistensi dalam menerapkaan prinsip clarity, transparency, dan understanding (CTU) dalam registry karbon sehingga mampu mengeliminasi double accounting atau double claim,” katanya.
Peran sebagai lembaga kliring bukan merupakan hal baru bagi KBI. Sebelumnya, BUMN ini telah berpengalaman dalam menjalankan fungsinya sebagai Lembaga Kliring Penjaminan dan Penyelesaian transaksi di Perdagangan Berjagka Komoditi serta Lembaga Kliring di Pasar Fisik Komoditas di Bursa Berjangka Jakarta.
Perdagangan komoditas karbon sendiri merupakan jual beli sertifikat yang diberikan kepada negara yang berhasil mengurangi emisi karbon. Perdagangan karbon pada prinsipnya sama dengan transaksi di perdagangan komoditas yang ada saat ini, yang berbeda adalah komoditasnya, yaitu emisi karbon.
Adapun emisi karbon yang bisa diperdagangkan adalah karbon dioksida (CO2), Metana (CH4), Nitrat Oksida (N2O), Hidroflurokarbon (HFCs), Perfluorokarbon (PFCs) serta Sulfur Heksafluorida (SF6). Dalam perdagangannya, satu unit kredit karbon biasanya setara dengan penurunan 1 ton karbon dioksida.
Di Indonesia, implementasi crediting telah berjalan sejak 2007 melalui proyek Clean Development Mechanism (CDM) berdasarkan Protokol Kyoto. Dengan CDM ini, memungkinkan bagi pengusaha Indonesia untuk membangun proyek emisi rendah yang sertifikat penurunan emisinya dijual kepada negara-negara maju.
Sebagai negara Pihak pada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Indonesia juga telah memberikan komitmen untuk menurunkan emisi GRK 29 persen dari skenario emisi Gas Rumah Kaca secara Business as Usual (BAU), dimana pada 2030 emisi GRK diproyeksikan sekitar 2.881 GtCO2e. (AHL)
Source : medcom.id